Tuesday, May 12, 2020

10 Pertanyaan tentang Lingusitik


1.   Apakah yang dimaksud dengan psikolingistik ?

Aitchison (1998: 1) memberi definisi sebagai suatu “kajian tentang bahasa dan minda.” Harley (2001: 1) mengatakannya sebagai suatu “kajian tentang proses-proses mental dalam penggunaan bahasa.” Sementara itu, Clark dan Clark (1977: 4) mengatakan bahawa psikologi bahasa berkaitan dengan tiga hal utama: kefahaman, penghasilan, dan pemerolehan bahasa. Daripada definisi-definisi ini dapatlah disimpulkan bahawa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari proses-proses mental yang dilalui oleh manusia dalam mereka membna pengetahuan berbahasa[1].

Psikolinguistik adalah penggabungan antara dua kata 'psikologi' dan 'linguistik'. Psikolinguistik mempelajari faktor-faktor psikologis dan neurobiologis yang memungkinkan manusia mendapatkan, menggunakan, dan memahami bahasa. Kajiannya semula lebih banyak bersifat filosofis, karena masih sedikitnya pemahaman tentang bagaimana otak manusia berfungsi. Oleh karena itu psikolinguistik sangat erat kaitannya dengan psikologi kognitif. Penelitian modern menggunakan biologi, neurologi, ilmu kognitif, dan teori informasi untuk mempelajari cara otak memroses bahasa[2].

 Psikolinguistik adalah ilmu yang dikaji oleh disiplin linguistik dan psikologi. Psikolinguistik mengkaji aspek-aspek yang berkaitan dengan bahasa, tingkah laku bahasa dan akal budi manusia semasa seseorang itu berbahasa. Psikolinguistik ialah bidang antara disiplin iaitu antara psikologi dan linguistik. Hakikat ini pernah diterangkan oleh Mangantar Simanjuntak (1986:1). Menurutnya, “kata psikolinguistik adalah gabungan dua patah kata iaitu ‘psikologi dan linguistik’ yang merupakan dua disiplin yang berlainan dan berdiri sendiri”. Menurut Aitchinson (1998:1) psikolinguistik boleh didefinisikan sebagai suatu “kajian tentang bahasa dan minda”. Manakala Harley (2001:1) pula mengatakan bahawa sebagai suatu “kajian tentang proses-proses mental dalam penggunaan bahasa”. Secara etimologis asal kata psikologi dari kata Yunani Psychê yang berarti jiwa dan logos yang berarti nalar, logika atau ilmu. Maka secara harafiah psikologi bisa diartikan ilmu tentang jiwa yang mengamati berbagai macam gejala- gejala kejiwaan. Tetapi sebenarnya banyak juga pakar yang lebih cenderung mengartikan psikologi sebagai bidang studi tentang tingkahlaku atau perilaku manusia. Psychê, di dalam Oxford Dictionary tertulis soul (roh), mind dan spirit. Sementara dalam bahasa Indonesia cukup dengan padanan yaitu jiwa. Pada tahun 1879 psikologi menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Sebelum itu psikologi merupakan bagian dari filsafat atau ilmu faal.

Aristoteles filsuf Yunani yang hidup kurang lebih di abad 400 tahun SM memasukkan psikologi ke dalam fisika. Ini dikarenakan Aristoteles membagi ilmu pengetahuan teoritis atas fisika, matematika dan metafisika. Maka psikologi bukan nerupakan ilmu yang berdiri sendiri. Bagi Aristoteles, semua yang hidup mempunyai jiwa seperti tumbuh- tumbuhan, hewan dan tentu saja manusia.

Sementara yang dimaksud ilmu jiwa Ki Ageng Suryomentaram adalah suatu bidang studi yang berisikan norma- norma etis bagi manusia karena manusia selalu mencatat, membedakan catatan dengan yang dicatat, mengenal jiwa abadi, bagaimana manusia secara deontologis (meminjam istilah Kant) harus berbuat baik bukan karena kategori yang hipotetis melainkan kategori yang imperatif (kewajiban) dan lain- lain. Maka tentunya ada perbedaan antara psikologi yang dikenal di masyarakat awam dengan konsep Ki Ageng Suryomentaram. Untuk itu marilah kita mencermati wejangan tentang ilmu jiwa menurut Ki Ageng Suryomentaram yang penulis ulas dari salah satu buku diantara buku- buku yang berisikan wejangan- wejangannya[3].

 

2.   Apa saja yang termasuk kedalam ruang lingkup psikolingistik ?

Psikolinguistik bersifat interdisipliner dan dipelajari oleh ahli dalam berbagai bidang, seperti psikologi, ilmu kognitif, dan linguistik. Psikolinguistik adalah perilaku berbahasa yang disebabkan oleh interaksinya dengan cara berpikir manusia. Ilmu ini meneliti tentang perolehan, produksi dan pemahaman terhadap bahasa[1]. Ada beberapa subdivisi dalam psikolinguistik yang didasarkan pada komponen-komponen yang membentuk bahasa pada manusia.

·         Fonetik dan fonologi mempelajari bunyi ucapan. Di dalam psikolinguistik, penelitian terfokus pada bagaimana otak memproses dan memahami bunyi-bunyi ini.

·         Morfologi mempelajari struktur kalimat, terutama hubungan antara kata yang berhubungan dan pembentukan kata-kata berdasarkan pada aturan-aturan.

·         Sintaks mempelajari pola-pola yang menentukan bagaimana kata-kata dikombinasikan bersama membentuk kalimat

·         Semantik berhubungan dengan makna dari kata atau kalimat. Bila sintaks berhubungan dengan struktur formal dari kalimat, semantik berhubungan dengan makna aktual dari kalimat.

·         Pragmatik berhubungan dengan peran konteks dalam penginterpretasian makna.

·         Studi tentang cara mengenali dan membaca kata meneliti proses yang tercakup dalam perolehan informasi ortografik, morfologis, fonologis, dan semantik dari pola-pola dalam tulisan[4].

3.   Sejarah lahirnya psikolinguistik ?

Psikolinguistik, sebagaimana tertera pada istilah ini, adalah ilmu gabungan antara dua ilmu: psikologi dan linguistik. Benih ilmu ini sebenarnya sudah tampak pada permulaan abad ke-20 tatkala sarjana psikologi Jerman Wilhelm Wundt menyatakan bahawa bahasa dapat dijelaskan dengan dasar prinsip-prinsip psikologis (Kess, 1992). Pada waktu itu kajian bahasa mula mengalami perubahan daripada sifatnya yang estetik dan kultural ke suatu pendekatan yang “ilmiah.” Sementara itu, di benua Amerika kaitan antara bahasa dengan ilmu jiwa juga mula tumbuh. Perkembangan ini dapat dibahagi kepada empat tahap (Kess, 1992): (a) tahap formatif, (b) tahap linguistik, (c) tahap kognitif, dan (d) tahap teori psikolinguistik, realiti psikologi, dan ilmu kognitif[5].

 

4.   Aliran-aliran dalam psikolingistik ?

Pada subpokok bahasan ini, kita telah membahas sejumlah konsep pendapat-pendapat para teorisi mengenai bagaimana seseorang memahami dan merespons terhadap apa-apa yang ada di alam semesta ini. Kita telah berbicara mengenai pandangan-pandangan kaum mentalis dan kaum bahavioris, terutama dalam kaitan dengan keterhubungan antara bahasa, ujaran dan pikiran. Menurut kaum mentalis, seorang manusia dipandang memiliki sebuah akal (mind) yang berbeda dari badan (body) orang tersebut. Artinya bahwa badan dan akal dianggap sebagai dua hal yang berinteraksi satu sama lain, yang salah sati di antaranya mungkin menyebabkan atau mungkin mengontrol peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bagian lainnya. Dalam kaitan dengan perilaku secara keseluruhan, pandangan ini berpendapat bahwa seseorang berperilaku seperti yang mereka lakukan itu bisa merupakan hasil perilaku badan secara tersendiri, seperti bernapas atau bisa pula merupakan hasil interaksi antara badan dan pikiran. Mentalisme dapat dibagi menjadi dua, yakni empirisme dan rasionalisme.

Kedua pendapat ini pun memiliki pandangan-pandangan yang berbeda dalam memahami persoalan gagasan-gagasan batin atau pengetahuan. Semua kaum mentalis bersepakat mengenai adanya akal dan bahwa manusia memiliki pengetahuan dan gagasan di dalam akalnya. Meskipun demikian, mereka tidak bersepakat dalam hal bagaimana gagasan-gagasan tersebut bisa ada di dalam akal. Apakah gagasan-gagasan tersebut seluruhnya diperoleh dari pengalaman (pendapat kaum empiris) atau gagasan-gagasan tersebut sudah ada di dalam akal sejak lahir (gagasan kaum rasional). Bahkan di dalam kedua aliran ini pun, terdapat perbedaan pendapat yang rinciannya akan kita bahas nanti. Kemudian, diketengahkan pembahasan mengenai empirisme. Dalam kaitan ini telah dibahas kenyataan bahwa kata empiris dan empirisme telah berkembang menjadi dua istilah yang memiliki dua makna yang berbeda. Setelah itu, dibahas pula isu lain yang mengelompokkan kaum empiris, yakni isu yang berkenaan dengan pertanyaan apakah gagasan-gagasan di dalam akal manusia yang membentuk pengetahuan bersifat universal atau umum di samping juga bersifat fisik. Pada bagian selanjutnya, telah dibahas pendapat-pendapat kaum behavioris, antara lain pendapat-pendapat John B. Watson, pendiri behaviorisme. Watson menganggap bahwa kesadaran merupakan tahayul-tahayul radius yang tidak relevan terhadap studi psikologi. Watson mengatakan bahwa keyakinan pada adanya kesadaran berkaitan dengan keyakinan masa-masa nenek moyang mengenai tahayul. Magis-magis senantiasa hidup. Konsep-konsep warisan masa praberadab ini telah membuat kebangkitan dan pertumbuhan psikologis ilmiah menjadi sangat sulit. Kriteria Watson dalam menentukan apakah sesuatu itu ada atau tidak ada adalah berdasarkan apakah hal tersebut dapat diamati atau tidak dapat diamati.

Selain itu telah pula diketengahkan pendapat behaviorisme epifenomenal. Sebagian besar bahavioris setelah Watson menganut materislisme, yakni yang doktrin dasarnya adalah bahwa hanya ada satu hal di dalam semesta ini yaitu materi. Pendapat ini merupakan pendapat yang sangat ekstrim. Mereka merumuskan posisi mereka bahwa pada umumnya tidak ada penolakan terhadap keberadaan akal. Meskipun demikian, dalam praktiknya mereka tidak berbeda dari Watson, sebab tidak ada seorang pun pendukungnya yang mendukung studi mengenai akal. Banyak di antara mereka mengambil pandangan epifenomenal yang menyatakan bahwa akal ada, tetapi hanya merupakan salah satu refleksi dari proses-proses badaniah yang tidak mempengaruhi peristiwa-peristiwa di dalam badan. Sebagian behavioris lain mengambil pandangan reduksionis. Mereka memberikan kemungkinan kepada akal untuk tegak berdiri, seperti badan, tetapi mereka meyakini apa pun yang terjadi di akal akal juga terjadi di dalam badan. Pendapat ini berbeda dengan epifenomenal yang berpendapat bahwa badan merupakan realitas utama. Dengan mengambil posisi ini seseorang meyakini bahwa untuk mengetahui akal harus melalui studi mengenai badan maka tidak ada keperluan untuk mempalajari akal. Dengan demikian, sisi akal menjadi ciut dan tinggallah badan. Masing-masing dari ketiga jenis gagasan ini akan dirinci disertai contoh-contoh seperlunya. Gagasan-gagasan substantif adalah gagasan-gagasan yang muncul dalam sejumlah relasi atau dijalankan oleh sejumlah operasi, misalnya ciri-ciri fonetis, ciri-ciri sintaktik, dan ciri-ciri semantik. Pada bagian akhir subpokok bahasan diketengahkan argumen-argumen yang dikemukakan Chomsky dalam mempertahankan APB yang tertuang dalam bentuk empat argumen, yakni (1) keunikan tata bahasa, (2) data masukan yang tidak sempurna, (3) ketidakselarasan intelegensi, dan (4) kemudahan dan kecepatan pemerolehan bahasa anak.

 

5.   Peran psikolingistik dalam pembelajaran bahasa ?

Ruang lingkup dan Signifikasi Psikolinguistik dalam Pengajaran Bahasa Pada pembahasan di atas, disajikan pendapat para ahli mengenai lingkup yang menjadi ranah kajian psikolinguistik. Sama halnya dengan definisi, pada lingkup kajian pun, dijumpai keragaman rumusan. Meskipun demikian, semuanya merujuk kepada hal yang sama, yakni bagaimana manusia memahami bahasa, memproduksi bahasa dan bagaimana mereka memperoleh kedua kemampuan tersebut.

Pemahaman dapat didefinisikan dalam dua sudut pandang: dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit pemahaman berarti proses mental untuk menangkap bunyi-bunyi yang diujarkan seorang penutur untuk membangun sebuah interpretasi mengenai apa yang dia anggap dimaksudkan oleh si penutur, sedangkan dalam arti luas, hasil interpretasi tersebut digunakan untuk melakukan tindakan-tindakan yang relevan.

Produksi sering diidentikkan dengan berbicara, meskipun produksi juga mencakup menulis. Dalam berbicara, juga menulis, seorang penutur melakukan dua jenis kegiatan, yaitu merencanakan dan melaksanakan yang meliputi tatar wacana, tatar kalimat, tatar konstituen, program artikulasi dan artikulasi. Terakhir, pada bagian yang ketiga, dibahas signifikasi dan sumbangan-sumbangan yang dapat dan telah diberikan psikolinguistik bagi pengajaran bahasa. Dalam bagian ini dibahas dua aliran psikologi dan sejumlah pendekatan yang dilandasi teori-teori pemerolehan bahasa[6].

 

6.   Bagaimana proses pemerolehan bahasa pertama ?

Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167).

Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Chaer 2003:167).

Selanjutnya, Chomsky juga beranggapan bahwa pemakai bahasa mengerti struktur dari bahasanya yang membuat dia dapat mengkreasi kalimat-kalimat baru yang tidak terhitung jumlahnya dan membuat dia mengerti kalimat-kalimat tersebut. Jadi, kompetensi adalah pengetahuan intuitif yang dipunyai seorang individu mengenai bahasa ibunya (native languange). Intuisi linguistik ini tidak begitu saja ada, tetapi dikembangkan pada anak sejalan dengan pertumbuhannya, sedangkan performansi adalah sesuatu yang dihasilkan oleh kompetensi.

Hal yang patut dipertanyakan adalah bagaimana strategi si anak dalam memperoleh bahasa pertamanya dan apakah setiap anak memiliki strategi yang sama dalam memperoleh bahsa pertamanya? Berkaitan dengan hal ini, Dardjowidjojo, (2005:243-244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan bahwa anak di mana pun juga memperoleh bahasa pertamanya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala[7].

 

7.   Bagaimana psikolinguistik perkembangan?

  1. Perkembangan Fonologi

Bayi yang berumur 3 hingga 4 bulan mulai memproduksi bunyi-bunyian. Pada usia antara 5 dan 6 bulan ia mulai mengoceh. Pada pertengahan tahun pertama, anak-anak mulai membedakan bunyi-bunyi (Ervin Tripo, 1970) dan selanjutnya dikatakan bahwa persepsi (speech perception) kelihatannya tergantung pada interaksi anak dengan lingkungannya.

  1. Perkembangan Semantik

Dalam usahanya ini, mereka mulai dengan dua asumsi mengenai fungsi dan isi dari suatu bahasa, yaitu:

(1) Bahasa dipergunakan untuk komunikasi

(2) Bahasa mempunyai arti dalam suatu konteks tertentu

C. Perkembangan Sintaksis

Dalam perkembangan sintaksis bahasa Inggris, urutan kata penting karang mula-mula belum ada infleksi, sehingga si anak dalam struktur sintaksisnya bersandar pada urutan kata. Demikian juga dalam bahasa Rusia dan Jerman, sedangkan di Indonesia belum diketahui.

  1. perkembangan morfologi

Menurut Schaerlaekens (1977), diferensiasi morfologi itu meliputi tiga hal penting yaitu
• Pembentukan aktajamak

• Pembentukan diminutiesuffix (verkleinwood).  jurkje (rok anak)àContoh: jurk (rok orang dewasa)

• Perubahan kata kerja

Dalam Bahasa Indonesia, belum diketahui bagaimana perkembangan morfologi pada bahasa anak karena belum ada penelitian di bidang s tersebut.

  1. Perkembangan Konseptual

Secara garis besar, hal-hal yang perlu dan harus dipelajari seorang anak sebelum ia dapat mengucapkan kalimat adalah:

• Kata benda (nama benda) dan Konsistensi obyek

• Kejadian-kejadian (events)

• Skema aksi (action schemes)

• Kausalitas

Setelah seorang anak mengerti keempat hal terebut diatas berarti ia siap untuk mengaktifkan atau mengekspresikan skema aksi yang ada dalam alam pikirannya disampaikan melalui kalimat-kalimat.

1. Konseptualisasi

2. Psikologi kognitif

3. Psikologi kognitif

 

 

F. Perkembangan Bahasa Anak

Sejarah studi bahasa anak dibagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum tahun 1960 dan sesudah 1960.

1. Studi Sebelum Tahun 1960

2. Studi Sesudah Tahun 1960[8]

 

8.   Fungsi bahasa menurut psikolinguistik ?

Fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi bagi anggota masyarakat. Berkomunikasi adalah menyampaikan pesan dan makna dari seseorang kepada orang lain melalui bahasa, yang di sini disebut berbahasa. Bagaimana manusia memperoleh kemampuan berbahasa. Bagaiman manusia memperoleh kemampuan berbahasa, hal-hal apa yang membuat berbahasa itu bermakna sehingga dapat memenuhi fungsinya sebagai alat berkomunikasi, serta relevansi semuanya untuk pengajaran bahasa merupakan hal-hal pokok yang dibahas dalam buku ini. Juga dibahas pula hubungan antara  bahasa dan pikiran, khususnya Relativitas Kebahasaan yang mengatakan bahwa struktur bahasa seseorang menentukan pikiran dan tindakannya[9].

 

9.   Apa saja yang menjadi bidang-bidang pada linguistic ?

Setiap ilmu pengetahuan lazim dibagi atas bidang-bidang bawahan atau cabang. Memang setiap ilmu pengetahuan meliputi bahan yang luas sekali, dan demi alasan praktis para ahli suka membagi ilmunya menjadi berbagai bidang bawahan atau cabang ilmunya. Demikian pula ilmu linguistik dibagi menjadi bidang bawahan yang bermacam-macam. Misalnya ada linguistik antropologis dan ada juga linguistik sosiologis/sosiolinguistik.

Akan tetapi, bidang-bidang bawahan tadi semuanya mengandaikan adanya pengetahuan linguistik yang mendasarinya. Bidang yang mendasari adalah bidang yang menyangkut struktur-struktur dasar tertentu, yaitu:

a. Struktur bunyi bahasa (Fonetik dan fonologi)

b. Struktur kata (Morfologi)

c. Struktur antar kata dalam kalimat (sintaksis)

d. Masalah arti atau makna (semantic)[10]

10.        Apakah yang dimasud denagn linguistic sebagai ilmu ?

Sebagai suatu disiplin ilmu, linguistik haruslah memenuhi berbagai persyaratan atau kriteria untuk bisa disebut sebagai ilmu. Kriteria itu sebagaimana dikemukakan oleh SJ Warouw (1956) antara lain:

a)      Pengetahuan itu harus teratur dan sitematis,

b)     Pengetahuan itu harus bersifat progresif, terus menerus menguasahakan atau berkembang ke arah yang lebih maju, dan

c)      Pengetahuan itu bersifat otonom, artinya bersifat mandiri dan bebas dalam kalangan sendiri.

Sementara itu, Oliva (1982) menjelaskan bahwa untuk bisa disebut sebagai ilmu maka harus memenuhi beberapa kraktristik sebagai berikut:

a)      Memiliki prinsip-prinsip. Artinya suatu ilmu pengetahuan harus memiliki sperangkat konstruk-konstruk teoritis atau prinsip yang membangun ilmu pengetahuan tersebut.

b)     Memiliki objek kajian yang jelas. Dalam hal ini linguistik memiliki objek kajian yang sudah mapan yaitu bahasa dengan segala aspeknya.

c)      Memiliki kelompok teoritisi dan praktisi. Artinya, setiap ilmu pengetahuan haru memiliki para ahli yang berkecimpung pada tataran teoritis maupun praktis. Dengan demikian linguistik juga harus memiliki para ahli di bidang teori-teori linguistik (teoritisi) dan para penerap linguistik di lapangan (paktisi).

Sedangkan Ramelan (1991), persayaratan ilmu itu antara lain;

a)      The subject matter of a science should be clearly defined in such a way that is clearly separated from the rest of universe (objek kajian suatu ilmu harus jelas dan definitif sehingga bisa dibedakan dari objek-objek kajian yang lain yang ada di alam ini)

b)      The observation and investigation of the subject matter should be carried out objectively without involving the subjective and personal attitude of the investigatior; the description of it, which is based on the result of investigation, should likewise be objective. (Pengamatan dan penelitian terhadap objek kajiannya harus dilaksanakan secara objektif tanpa melibatkan sikap subjektif dari peneliti; demikian juga pendeskripsian tentang objek kajian itu –yang didasarkan atas hasil penelitian- juga harus bersifat objektif)

c)      Generalizations of observed facts will lead to inductive establishment of the so called “laws”, which should be verifiable by any competent observer. The validity of these laws has to be tested by applying them to that part of the data not used in forming the genaralizations. (Generalisasi atas fakta-fakta amatan akan mengarah pada terbentuknya “hukum-hukum” secara induktif yang bisa diuji kembali kebenarannya oleh peneliti lain yang kompeten. Validitas atau kebenaran hukum-hukum itu harus diuji dengan cara menerapkannya pada sebagian dari data amatan tersebut, bukan digunakan dalam membentuk generalisasi.

d)      Statements on the results of investigation should be arranged in a systematized form so that it will be easy for other people to read and study.  Hasil-hasil penelitian tersebut harus disusun dalam bentuk yang sistematis sehingga akan memudahkan orang lain dalam membaca dan mempelajarinya.

e)       A scince is never static; it always considers its findings and its establihsed laws, and is ready to change or modify them when they are refused by additional data or by new findings. (Ilmu itu tidak pernah statis. Ilmu selalu mempertimbangkan kembali temuan dan hukum-hukumnya yang sudah mapan dan siap untuk merubah atau memodifikasikannya apabila ada data atau temuan baru yang menolaknya).

Berpijak pada apa yang telah dikemukakan oleh Ramelan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa objek kajian linguistik adalah bahasa. Istilah bahasa memang sering disalahfahami oleh orang. Sebagian orang menganggap bahasa mencakup  semua sarana yang bisa digunakan sebagai alat komunikasi seperti tulisan, isyarat, gerakan tangan dan bibir yang digunakan oleh kelompok orang tuli dan bisu dan lain-lain. Oleh karena itu perlu ada definisi yang jelas mengenai bahasa yang menjadi objek kajian linguistik. Dalam ilmu linguistik bahasa juga diartikan sebagai alat komuniasi yang dengannya pesan dapat tersampaikan. Namun demikian, ada perbedaan antara bahasa dengan alat komunikasi yang lain berkaitan dengan medianya. Sebagai contoh, dalam tulisan, medianya adalah simbol-simbol tertulis, dalam isyarat medianya adalah gerakan tubuh. Sedangkan dalam bahasa, media yang digunakan untuk berkomunikasi adalah bunyi-bunyi ujaran yang dihasilkan oleh alat organ manusia. Oleh karena itu, dalam perspektif ilmu linguistik, sistim atau alat komunikasi lain yang tidak menggunakan bunyi ujaran sebagai medianya tidak termasuk bidang kajian linguistik. Dari sini jelaslah bahwa objek kajian linguistik adalah sistim bunyi yang terartikulasi dan digunakan oleh manusia dalam komunikasi antar mereka.

Namun demikian, ketika kita bicara tentang studi bahasa, hal ini jangan disalahfahami dengan studi tentang bahasa tertentu sebagaimana kita kenal dalam perkataan sehari-hari. Sebagai contoh, studi bahasa Inggris atau bahasa Arab yang dilakukan oleh mahasiswa di perguruan tinggi tidak bisa disebut sebagai linguistik. Studi tentang bahasa-bahasa tersebut sebagai alat komunikasi didorong oleh adanya tujuan agar setelah menguasai bahasa-bahasa tersebut, seseorang yang mempelajarinya akan mampu menggunakannya sebagai alat komunikasi. Sementara itu, seorang linguis mungkin juga mempelajari bahasa Inggris atau bahasa Arab, tetapi minat atau tujuannya berbeda. Ia mempelajari bahasa-bahasa tersebut bukan bertujuan untuk menguasainya sebagai alat komunikasi –meskipun mungkin ia sangat mahir-, tetapi perhatian utamanya adalah mengetahui struktur internalnya, yakni untuk menemukan dan menjelaskan unit-unit penanda dasar bahasa tersebut (the signalling units of language) yang berupa fonem dan morfem serta bagaimana keduanya didistribusikan. Fonem dan morfem adalah unit penanda dasar setiap bahasa, sehingga keduanya bersifat universal. Setiap bahasa pasti mempunyainya.



[1]  http://bmp6103.blogspot.com/2007/07/ru.html

[2]  http://wapedia.mobi/id/Psikolinguistik

[3]  http://ferrydjajaprana.multiply.com/reviews/item/55

[4]  http://wapedia.mobi/id/Psikolinguistik

[5]  http://bmp6103.blogspot.com/2007/07/ru.html

[6]  http://massofa.wordpress.com/2008/01/24/menengok-bahasan-psikolinguistik/

[7]  http://nahulinguistik.wordpress.com/2009/04/14/pemerolehan-bahasa-pertama/

[8]  http://matasaksi.blogspot.com/2008/09/rangkuman-psikolinguistik-suatu.html

[9]  http://www.bpkpenabur.or.id/counselweb/?q=node/153

[10]  http://bahauddin-amyasi.blogspot.com/2008/11/struktur-kajian-ilmu-jiwa-belajar.html


No comments:

Post a Comment