1.
Apakah
yang dimaksud dengan psikolingistik ?
Aitchison
(1998: 1) memberi definisi sebagai suatu “kajian tentang bahasa dan minda.”
Harley (2001: 1) mengatakannya sebagai suatu “kajian tentang proses-proses
mental dalam penggunaan bahasa.” Sementara itu, Clark dan Clark (1977: 4)
mengatakan bahawa psikologi bahasa berkaitan dengan tiga hal utama: kefahaman,
penghasilan, dan pemerolehan bahasa. Daripada definisi-definisi ini dapatlah
disimpulkan bahawa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari proses-proses
mental yang dilalui oleh manusia dalam mereka membna pengetahuan berbahasa[1].
Psikolinguistik adalah penggabungan antara dua
kata 'psikologi' dan 'linguistik'. Psikolinguistik mempelajari
faktor-faktor psikologis dan neurobiologis
yang memungkinkan manusia
mendapatkan, menggunakan, dan memahami bahasa.
Kajiannya semula lebih banyak bersifat filosofis,
karena masih sedikitnya pemahaman tentang bagaimana otak manusia berfungsi. Oleh karena itu
psikolinguistik sangat erat kaitannya dengan psikologi kognitif.
Penelitian modern menggunakan biologi,
neurologi, ilmu
kognitif, dan teori
informasi untuk mempelajari cara otak memroses bahasa[2].
Psikolinguistik adalah ilmu yang dikaji oleh disiplin linguistik dan psikologi. Psikolinguistik mengkaji aspek-aspek yang berkaitan dengan bahasa, tingkah laku bahasa dan akal budi manusia semasa seseorang itu berbahasa. Psikolinguistik ialah bidang antara disiplin iaitu antara psikologi dan linguistik. Hakikat ini pernah diterangkan oleh Mangantar Simanjuntak (1986:1). Menurutnya, “kata psikolinguistik adalah gabungan dua patah kata iaitu ‘psikologi dan linguistik’ yang merupakan dua disiplin yang berlainan dan berdiri sendiri”. Menurut Aitchinson (1998:1) psikolinguistik boleh didefinisikan sebagai suatu “kajian tentang bahasa dan minda”. Manakala Harley (2001:1) pula mengatakan bahawa sebagai suatu “kajian tentang proses-proses mental dalam penggunaan bahasa”. Secara etimologis asal kata psikologi dari kata Yunani Psychê yang berarti jiwa dan logos yang berarti nalar, logika atau ilmu. Maka secara harafiah psikologi bisa diartikan ilmu tentang jiwa yang mengamati berbagai macam gejala- gejala kejiwaan. Tetapi sebenarnya banyak juga pakar yang lebih cenderung mengartikan psikologi sebagai bidang studi tentang tingkahlaku atau perilaku manusia. Psychê, di dalam Oxford Dictionary tertulis soul (roh), mind dan spirit. Sementara dalam bahasa Indonesia cukup dengan padanan yaitu jiwa. Pada tahun 1879 psikologi menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Sebelum itu psikologi merupakan bagian dari filsafat atau ilmu faal.
Aristoteles filsuf Yunani yang hidup kurang lebih di
abad 400 tahun SM memasukkan psikologi ke dalam fisika. Ini dikarenakan
Aristoteles membagi ilmu pengetahuan teoritis atas fisika, matematika dan
metafisika. Maka psikologi bukan nerupakan ilmu yang berdiri sendiri. Bagi
Aristoteles, semua yang hidup mempunyai jiwa seperti tumbuh- tumbuhan, hewan
dan tentu saja manusia.
Sementara yang dimaksud ilmu jiwa Ki Ageng Suryomentaram
adalah suatu bidang studi yang berisikan norma- norma etis bagi manusia karena
manusia selalu mencatat, membedakan catatan dengan yang dicatat, mengenal jiwa
abadi, bagaimana manusia secara deontologis (meminjam istilah Kant) harus
berbuat baik bukan karena kategori yang hipotetis melainkan kategori yang
imperatif (kewajiban) dan lain- lain. Maka tentunya ada perbedaan antara
psikologi yang dikenal di masyarakat awam dengan konsep Ki Ageng Suryomentaram.
Untuk itu marilah kita mencermati wejangan tentang ilmu jiwa menurut Ki Ageng
Suryomentaram yang penulis ulas dari salah satu buku diantara buku- buku yang
berisikan wejangan- wejangannya[3].
2.
Apa
saja yang termasuk kedalam ruang lingkup psikolingistik ?
Psikolinguistik
bersifat interdisipliner dan dipelajari oleh ahli dalam
berbagai bidang, seperti psikologi, ilmu kognitif, dan linguistik.
Psikolinguistik adalah perilaku berbahasa yang disebabkan oleh interaksinya
dengan cara berpikir manusia. Ilmu ini meneliti tentang perolehan, produksi dan
pemahaman terhadap bahasa[1]. Ada
beberapa subdivisi dalam psikolinguistik yang didasarkan pada komponen-komponen
yang membentuk bahasa pada manusia.
·
Fonetik
dan fonologi
mempelajari bunyi ucapan. Di dalam psikolinguistik, penelitian terfokus pada
bagaimana otak memproses dan memahami bunyi-bunyi ini.
·
Morfologi
mempelajari struktur kalimat, terutama hubungan antara kata yang berhubungan
dan pembentukan kata-kata berdasarkan pada aturan-aturan.
·
Sintaks
mempelajari pola-pola yang menentukan bagaimana kata-kata dikombinasikan
bersama membentuk kalimat
·
Semantik
berhubungan dengan makna dari kata atau kalimat. Bila sintaks berhubungan
dengan struktur formal dari kalimat, semantik berhubungan dengan makna aktual
dari kalimat.
·
Pragmatik
berhubungan dengan peran konteks dalam penginterpretasian makna.
·
Studi tentang cara mengenali dan membaca kata meneliti proses yang
tercakup dalam perolehan informasi ortografik, morfologis, fonologis,
dan semantik dari pola-pola dalam tulisan[4].
3.
Sejarah
lahirnya psikolinguistik ?
Psikolinguistik,
sebagaimana tertera pada istilah ini, adalah ilmu gabungan antara dua ilmu:
psikologi dan linguistik. Benih ilmu ini sebenarnya sudah tampak pada permulaan
abad ke-20 tatkala sarjana psikologi Jerman Wilhelm Wundt menyatakan bahawa
bahasa dapat dijelaskan dengan dasar prinsip-prinsip psikologis (Kess, 1992).
Pada waktu itu kajian bahasa mula mengalami perubahan daripada sifatnya yang
estetik dan kultural ke suatu pendekatan yang “ilmiah.” Sementara itu, di benua
Amerika kaitan antara bahasa dengan ilmu jiwa juga mula tumbuh. Perkembangan
ini dapat dibahagi kepada empat tahap (Kess, 1992): (a) tahap formatif, (b)
tahap linguistik, (c) tahap kognitif, dan (d) tahap teori psikolinguistik,
realiti psikologi, dan ilmu kognitif[5].
4.
Aliran-aliran
dalam psikolingistik ?
Pada subpokok bahasan ini, kita telah
membahas sejumlah konsep pendapat-pendapat para teorisi mengenai bagaimana
seseorang memahami dan merespons terhadap apa-apa yang ada di alam semesta ini.
Kita telah berbicara mengenai pandangan-pandangan kaum mentalis dan kaum
bahavioris, terutama dalam kaitan dengan keterhubungan antara bahasa, ujaran
dan pikiran. Menurut kaum mentalis, seorang manusia dipandang memiliki sebuah
akal (mind) yang berbeda dari badan (body) orang tersebut. Artinya bahwa badan
dan akal dianggap sebagai dua hal yang berinteraksi satu sama lain, yang salah
sati di antaranya mungkin menyebabkan atau mungkin mengontrol
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bagian lainnya. Dalam kaitan dengan
perilaku secara keseluruhan, pandangan ini berpendapat bahwa seseorang
berperilaku seperti yang mereka lakukan itu bisa merupakan hasil perilaku badan
secara tersendiri, seperti bernapas atau bisa pula merupakan hasil interaksi
antara badan dan pikiran. Mentalisme dapat dibagi menjadi dua, yakni empirisme
dan rasionalisme.
Kedua pendapat ini pun memiliki
pandangan-pandangan yang berbeda dalam memahami persoalan gagasan-gagasan batin
atau pengetahuan. Semua kaum mentalis bersepakat mengenai adanya akal dan bahwa
manusia memiliki pengetahuan dan gagasan di dalam akalnya. Meskipun demikian,
mereka tidak bersepakat dalam hal bagaimana gagasan-gagasan tersebut bisa ada
di dalam akal. Apakah gagasan-gagasan tersebut seluruhnya diperoleh dari
pengalaman (pendapat kaum empiris) atau gagasan-gagasan tersebut sudah ada di
dalam akal sejak lahir (gagasan kaum rasional). Bahkan di dalam kedua aliran
ini pun, terdapat perbedaan pendapat yang rinciannya akan kita bahas nanti. Kemudian, diketengahkan pembahasan mengenai empirisme. Dalam
kaitan ini telah dibahas kenyataan bahwa kata empiris dan empirisme telah
berkembang menjadi dua istilah yang memiliki dua makna yang berbeda. Setelah
itu, dibahas pula isu lain yang mengelompokkan kaum empiris, yakni isu yang
berkenaan dengan pertanyaan apakah gagasan-gagasan di dalam akal manusia yang
membentuk pengetahuan bersifat universal atau umum di samping juga bersifat
fisik. Pada
bagian selanjutnya, telah dibahas pendapat-pendapat kaum behavioris, antara
lain pendapat-pendapat John B. Watson, pendiri behaviorisme. Watson menganggap
bahwa kesadaran merupakan tahayul-tahayul radius yang tidak relevan terhadap
studi psikologi. Watson mengatakan bahwa keyakinan pada adanya kesadaran
berkaitan dengan keyakinan masa-masa nenek moyang mengenai tahayul. Magis-magis
senantiasa hidup. Konsep-konsep warisan masa praberadab ini telah membuat
kebangkitan dan pertumbuhan psikologis ilmiah menjadi sangat sulit. Kriteria
Watson dalam menentukan apakah sesuatu itu ada atau tidak ada adalah
berdasarkan apakah hal tersebut dapat diamati atau tidak dapat diamati.
Selain itu telah pula diketengahkan
pendapat behaviorisme epifenomenal. Sebagian besar bahavioris setelah Watson
menganut materislisme, yakni yang doktrin dasarnya adalah bahwa hanya ada satu
hal di dalam semesta ini yaitu materi. Pendapat ini merupakan pendapat yang
sangat ekstrim. Mereka merumuskan posisi mereka bahwa pada umumnya tidak ada
penolakan terhadap keberadaan akal. Meskipun demikian, dalam praktiknya mereka
tidak berbeda dari Watson, sebab tidak ada seorang pun pendukungnya yang
mendukung studi mengenai akal. Banyak di antara mereka mengambil pandangan
epifenomenal yang menyatakan bahwa akal ada, tetapi hanya merupakan salah satu
refleksi dari proses-proses badaniah yang tidak mempengaruhi
peristiwa-peristiwa di dalam badan. Sebagian behavioris lain mengambil
pandangan reduksionis. Mereka memberikan kemungkinan kepada akal untuk tegak
berdiri, seperti badan, tetapi mereka meyakini apa pun yang terjadi di akal
akal juga terjadi di dalam badan. Pendapat ini berbeda dengan epifenomenal yang
berpendapat bahwa badan merupakan realitas utama. Dengan mengambil posisi ini
seseorang meyakini bahwa untuk mengetahui akal harus melalui studi mengenai
badan maka tidak ada keperluan untuk mempalajari akal. Dengan demikian, sisi
akal menjadi ciut dan tinggallah badan.
Masing-masing dari ketiga jenis gagasan ini akan dirinci disertai contoh-contoh
seperlunya. Gagasan-gagasan substantif adalah gagasan-gagasan yang muncul dalam
sejumlah relasi atau dijalankan oleh sejumlah operasi, misalnya ciri-ciri
fonetis, ciri-ciri sintaktik, dan ciri-ciri semantik. Pada bagian akhir subpokok bahasan
diketengahkan argumen-argumen yang dikemukakan Chomsky dalam mempertahankan APB
yang tertuang dalam bentuk empat argumen, yakni (1) keunikan tata bahasa, (2)
data masukan yang tidak sempurna, (3) ketidakselarasan intelegensi, dan (4)
kemudahan dan kecepatan pemerolehan bahasa anak.
5.
Peran
psikolingistik dalam pembelajaran bahasa ?
Ruang lingkup dan Signifikasi
Psikolinguistik dalam Pengajaran Bahasa Pada pembahasan di atas, disajikan
pendapat para ahli mengenai lingkup yang menjadi ranah kajian
psikolinguistik. Sama halnya dengan definisi, pada lingkup kajian pun,
dijumpai keragaman rumusan. Meskipun demikian, semuanya merujuk kepada hal yang
sama, yakni bagaimana manusia memahami bahasa, memproduksi bahasa dan bagaimana
mereka memperoleh kedua kemampuan tersebut.
Pemahaman dapat didefinisikan dalam
dua sudut pandang: dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit
pemahaman berarti proses mental untuk menangkap bunyi-bunyi yang diujarkan
seorang penutur untuk membangun sebuah interpretasi mengenai apa yang dia
anggap dimaksudkan oleh si penutur, sedangkan dalam arti luas, hasil
interpretasi tersebut digunakan untuk melakukan tindakan-tindakan yang relevan.
Produksi sering diidentikkan dengan
berbicara, meskipun produksi juga mencakup menulis. Dalam berbicara, juga
menulis, seorang penutur melakukan dua jenis kegiatan, yaitu merencanakan dan
melaksanakan yang meliputi tatar wacana, tatar kalimat, tatar konstituen,
program artikulasi dan artikulasi. Terakhir, pada bagian yang ketiga, dibahas
signifikasi dan sumbangan-sumbangan yang dapat dan telah diberikan
psikolinguistik bagi pengajaran bahasa. Dalam bagian ini dibahas dua aliran
psikologi dan sejumlah pendekatan yang dilandasi teori-teori pemerolehan bahasa[6].
6.
Bagaimana
proses pemerolehan bahasa pertama ?
Pemerolehan
bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak
kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya.
Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran
bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang
kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya.
Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan
pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167).
Selama
pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang
terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang
dimaksud adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kedua
proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses
penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara
tidak disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun
dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki
performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan
bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses
pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan
kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan
proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri
(Chaer 2003:167).
Selanjutnya,
Chomsky juga beranggapan bahwa pemakai bahasa mengerti struktur dari bahasanya
yang membuat dia dapat mengkreasi kalimat-kalimat baru yang tidak terhitung
jumlahnya dan membuat dia mengerti kalimat-kalimat tersebut. Jadi, kompetensi
adalah pengetahuan intuitif yang dipunyai seorang individu mengenai bahasa
ibunya (native languange). Intuisi linguistik ini tidak begitu saja ada,
tetapi dikembangkan pada anak sejalan dengan pertumbuhannya, sedangkan
performansi adalah sesuatu yang dihasilkan oleh kompetensi.
Hal
yang patut dipertanyakan adalah bagaimana strategi si anak dalam memperoleh
bahasa pertamanya dan apakah setiap anak memiliki strategi yang sama dalam
memperoleh bahsa pertamanya? Berkaitan dengan hal ini, Dardjowidjojo,
(2005:243-244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan
bahwa anak di mana pun juga memperoleh bahasa pertamanya dengan memakai
strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan
neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang
menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan.
Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak
secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky
mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol
serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola
lampu tertentu menyala[7].
7.
Bagaimana
psikolinguistik perkembangan?
- Perkembangan Fonologi
Bayi yang berumur 3 hingga 4 bulan mulai memproduksi
bunyi-bunyian. Pada usia antara 5 dan 6 bulan ia mulai mengoceh. Pada
pertengahan tahun pertama, anak-anak mulai membedakan bunyi-bunyi (Ervin Tripo,
1970) dan selanjutnya dikatakan bahwa persepsi (speech perception) kelihatannya
tergantung pada interaksi anak dengan lingkungannya.
- Perkembangan Semantik
Dalam usahanya ini, mereka mulai dengan dua asumsi
mengenai fungsi dan isi dari suatu bahasa, yaitu:
(1) Bahasa dipergunakan untuk komunikasi
(2) Bahasa mempunyai arti dalam suatu konteks tertentu
C. Perkembangan Sintaksis
Dalam perkembangan sintaksis bahasa Inggris, urutan
kata penting karang mula-mula belum ada infleksi, sehingga si anak dalam
struktur sintaksisnya bersandar pada urutan kata. Demikian juga dalam bahasa
Rusia dan Jerman, sedangkan di Indonesia belum diketahui.
- perkembangan morfologi
Menurut Schaerlaekens (1977), diferensiasi morfologi itu meliputi tiga
hal penting yaitu
• Pembentukan aktajamak
• Pembentukan diminutiesuffix (verkleinwood). jurkje (rok anak)àContoh:
jurk (rok orang dewasa)
• Perubahan kata kerja
Dalam Bahasa Indonesia, belum diketahui bagaimana
perkembangan morfologi pada bahasa anak karena belum ada penelitian di bidang s
tersebut.
- Perkembangan Konseptual
Secara garis besar, hal-hal yang perlu dan harus
dipelajari seorang anak sebelum ia dapat mengucapkan kalimat adalah:
• Kata benda (nama benda) dan Konsistensi obyek
• Kejadian-kejadian (events)
• Skema aksi (action schemes)
• Kausalitas
Setelah seorang anak mengerti keempat hal terebut
diatas berarti ia siap untuk mengaktifkan atau mengekspresikan skema aksi yang
ada dalam alam pikirannya disampaikan melalui kalimat-kalimat.
1. Konseptualisasi
2. Psikologi kognitif
3. Psikologi kognitif
F. Perkembangan Bahasa Anak
Sejarah studi bahasa anak dibagi dalam dua periode,
yaitu periode sebelum tahun 1960 dan sesudah 1960.
1. Studi Sebelum Tahun 1960
2. Studi Sesudah Tahun 1960[8]
8.
Fungsi
bahasa menurut psikolinguistik ?
Fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi bagi
anggota masyarakat. Berkomunikasi adalah menyampaikan pesan dan makna dari
seseorang kepada orang lain melalui bahasa, yang di sini disebut berbahasa.
Bagaimana manusia memperoleh kemampuan berbahasa. Bagaiman manusia memperoleh
kemampuan berbahasa, hal-hal apa yang membuat berbahasa itu bermakna sehingga
dapat memenuhi fungsinya sebagai alat berkomunikasi, serta relevansi semuanya
untuk pengajaran bahasa merupakan hal-hal pokok yang dibahas dalam buku ini.
Juga dibahas pula hubungan antara bahasa dan pikiran, khususnya
Relativitas Kebahasaan yang mengatakan bahwa struktur bahasa seseorang
menentukan pikiran dan tindakannya[9].
9.
Apa
saja yang menjadi bidang-bidang pada linguistic ?
Setiap ilmu pengetahuan lazim dibagi atas
bidang-bidang bawahan atau cabang. Memang setiap ilmu pengetahuan meliputi
bahan yang luas sekali, dan demi alasan praktis para ahli suka membagi ilmunya
menjadi berbagai bidang bawahan atau cabang ilmunya. Demikian pula ilmu
linguistik dibagi menjadi bidang bawahan yang bermacam-macam. Misalnya ada
linguistik antropologis dan ada juga linguistik sosiologis/sosiolinguistik.
Akan tetapi, bidang-bidang bawahan tadi semuanya
mengandaikan adanya pengetahuan linguistik yang mendasarinya. Bidang yang
mendasari adalah bidang yang menyangkut struktur-struktur dasar tertentu,
yaitu:
a. Struktur bunyi bahasa (Fonetik dan fonologi)
b. Struktur kata (Morfologi)
c. Struktur antar kata dalam kalimat (sintaksis)
d. Masalah arti atau makna (semantic)[10]
10.
Apakah
yang dimasud denagn linguistic sebagai ilmu ?
Sebagai
suatu disiplin ilmu, linguistik haruslah memenuhi berbagai persyaratan atau
kriteria untuk bisa disebut sebagai ilmu. Kriteria itu sebagaimana dikemukakan
oleh SJ Warouw (1956) antara lain:
a)
Pengetahuan itu
harus teratur dan sitematis,
b)
Pengetahuan itu
harus bersifat progresif, terus menerus menguasahakan atau berkembang ke arah
yang lebih maju, dan
c)
Pengetahuan itu
bersifat otonom, artinya bersifat mandiri dan bebas dalam kalangan sendiri.
Sementara
itu, Oliva (1982) menjelaskan bahwa untuk bisa disebut sebagai ilmu maka harus
memenuhi beberapa kraktristik sebagai berikut:
a)
Memiliki
prinsip-prinsip. Artinya suatu ilmu pengetahuan harus memiliki sperangkat
konstruk-konstruk teoritis atau prinsip yang membangun ilmu pengetahuan
tersebut.
b)
Memiliki objek
kajian yang jelas. Dalam hal ini linguistik memiliki objek kajian yang sudah
mapan yaitu bahasa dengan segala aspeknya.
c)
Memiliki kelompok
teoritisi dan praktisi. Artinya, setiap ilmu pengetahuan haru memiliki para
ahli yang berkecimpung pada tataran teoritis maupun praktis. Dengan demikian
linguistik juga harus memiliki para ahli di bidang teori-teori linguistik
(teoritisi) dan para penerap linguistik di lapangan (paktisi).
Sedangkan Ramelan (1991), persayaratan
ilmu itu antara lain;
a)
The subject matter
of a science should be clearly defined in such a way that is clearly separated
from the rest of universe (objek kajian suatu ilmu
harus jelas dan definitif sehingga bisa dibedakan dari objek-objek kajian yang
lain yang ada di alam ini)
b)
The
observation and investigation of the subject matter should be carried out
objectively without involving the subjective and personal attitude of the
investigatior; the description of it, which is based on the result of
investigation, should likewise be objective. (Pengamatan dan
penelitian terhadap objek kajiannya harus dilaksanakan secara objektif tanpa
melibatkan sikap subjektif dari peneliti; demikian juga pendeskripsian tentang
objek kajian itu –yang didasarkan atas hasil penelitian- juga harus bersifat
objektif)
c)
Generalizations
of observed facts will lead to inductive establishment of the so called “laws”,
which should be verifiable by any competent observer. The validity of these
laws has to be tested by applying them to that part of the data not used in
forming the genaralizations. (Generalisasi atas
fakta-fakta amatan akan mengarah pada terbentuknya “hukum-hukum” secara
induktif yang bisa diuji kembali kebenarannya oleh peneliti lain yang kompeten.
Validitas atau kebenaran hukum-hukum itu harus diuji dengan cara menerapkannya
pada sebagian dari data amatan tersebut, bukan digunakan dalam membentuk
generalisasi.
d)
Statements
on the results of investigation should be arranged in a systematized form so
that it will be easy for other people to read and study. Hasil-hasil penelitian tersebut harus disusun
dalam bentuk yang sistematis sehingga akan memudahkan orang lain dalam membaca
dan mempelajarinya.
e)
A
scince is never static; it always considers its findings and its establihsed
laws, and is ready to change or modify them when they are refused by additional
data or by new findings. (Ilmu itu tidak pernah
statis. Ilmu selalu mempertimbangkan kembali temuan dan hukum-hukumnya yang
sudah mapan dan siap untuk merubah atau memodifikasikannya apabila ada data
atau temuan baru yang menolaknya).
Berpijak
pada apa yang telah dikemukakan oleh Ramelan tersebut di atas, maka jelaslah
bahwa objek kajian linguistik adalah bahasa. Istilah bahasa memang sering
disalahfahami oleh orang. Sebagian orang menganggap bahasa mencakup semua sarana yang bisa digunakan sebagai alat
komunikasi seperti tulisan, isyarat, gerakan tangan dan bibir yang digunakan
oleh kelompok orang tuli dan bisu dan lain-lain. Oleh karena itu perlu ada definisi
yang jelas mengenai bahasa yang menjadi objek kajian linguistik. Dalam ilmu
linguistik bahasa juga diartikan sebagai alat komuniasi yang dengannya pesan
dapat tersampaikan. Namun demikian, ada perbedaan antara bahasa dengan alat
komunikasi yang lain berkaitan dengan medianya. Sebagai contoh, dalam tulisan,
medianya adalah simbol-simbol tertulis, dalam isyarat medianya adalah gerakan
tubuh. Sedangkan dalam bahasa, media yang digunakan untuk berkomunikasi adalah
bunyi-bunyi ujaran yang dihasilkan oleh alat organ manusia. Oleh karena itu, dalam
perspektif ilmu linguistik, sistim atau alat komunikasi lain yang tidak
menggunakan bunyi ujaran sebagai medianya tidak termasuk bidang kajian
linguistik. Dari sini jelaslah bahwa objek kajian linguistik adalah sistim
bunyi yang terartikulasi dan digunakan oleh manusia dalam komunikasi antar
mereka.
Namun
demikian, ketika kita bicara tentang studi bahasa, hal ini jangan disalahfahami
dengan studi tentang bahasa tertentu sebagaimana kita kenal dalam perkataan
sehari-hari. Sebagai contoh, studi bahasa Inggris atau bahasa Arab yang
dilakukan oleh mahasiswa di perguruan tinggi tidak bisa disebut sebagai
linguistik. Studi tentang bahasa-bahasa tersebut sebagai alat komunikasi
didorong oleh adanya tujuan agar setelah menguasai bahasa-bahasa tersebut,
seseorang yang mempelajarinya akan mampu menggunakannya sebagai alat
komunikasi. Sementara itu, seorang linguis mungkin juga mempelajari bahasa
Inggris atau bahasa Arab, tetapi minat atau tujuannya berbeda. Ia mempelajari
bahasa-bahasa tersebut bukan bertujuan untuk menguasainya sebagai alat
komunikasi –meskipun mungkin ia sangat mahir-, tetapi perhatian utamanya adalah
mengetahui struktur internalnya, yakni untuk menemukan dan menjelaskan
unit-unit penanda dasar bahasa tersebut (the signalling units of language) yang
berupa fonem dan morfem serta bagaimana keduanya didistribusikan. Fonem dan
morfem adalah unit penanda dasar setiap bahasa, sehingga keduanya bersifat
universal. Setiap bahasa pasti mempunyainya.
[1] http://bmp6103.blogspot.com/2007/07/ru.html
[2] http://wapedia.mobi/id/Psikolinguistik
[3] http://ferrydjajaprana.multiply.com/reviews/item/55
[4] http://wapedia.mobi/id/Psikolinguistik
[5] http://bmp6103.blogspot.com/2007/07/ru.html
[6] http://massofa.wordpress.com/2008/01/24/menengok-bahasan-psikolinguistik/
[7] http://nahulinguistik.wordpress.com/2009/04/14/pemerolehan-bahasa-pertama/
[8] http://matasaksi.blogspot.com/2008/09/rangkuman-psikolinguistik-suatu.html
[9] http://www.bpkpenabur.or.id/counselweb/?q=node/153
[10] http://bahauddin-amyasi.blogspot.com/2008/11/struktur-kajian-ilmu-jiwa-belajar.html
No comments:
Post a Comment